UPACARA ADAT


Upacara Panen Padi Suku Dayak



Latar Belakang

Suku Dayak Kayaan satu dari 151 subsuku Dayak di Kalimantan Barat (Buku Mozaik Dayak, Keberagaman Suku dan Bahasa Dayak di Kalbar, terbitan Institut Dayakologi, 2008) yang mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat adalah masyarakat yang kehidupan mereka relatif kental dengan adat istiadat. Dewasa ini, suku Dayak Kayaan sudah semakin banyak menetap di berbagai kabupaten/kota di Kalbar. Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam ini terdiri dari tiga subsku kecil, yakni Kayaan Umaa’ Pagung, Umaa’ Suling dan Umaa’ Aging. Mereka semua adalah suku bangsa Kayaan.

Sejak ratusan tahun silam suku ini meninggalkan Apo Kayaan di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur (daerah asal suku Dayak Kayaanik), mereka selalu memegang teguh budaya dari leluhurnya. Salah satunya adalah upacara syukuran atas berkah dan rahmat dari Tipang Tenangaan (Tuhan Allah), dalam bentuk upacara adat yang dinamai Dange. Dange memiliki makna yang sama dengan gawai Dayak. Dange adalah upacara adat yang selain untuk mengucap syukur pada Tuhan atas hasil perladangan, juga untuk mengumpulkan saudara-saudara mereka yang masing-masing sibuk dengan pekerjaan sendiri selama satu siklus perladangan untuk saling meneguhkan, memaafkan dan saling memgbai pengalaman hidup.



Dalam syair sastra dayung dange (syair doa yang dilagukan dalam dange) Dayak Kayaan, adanya tradisi upacara adat yang sarat dengan makna ritual dan riligius bahwa dange diciptakan oleh kuu’ Kuleh (kake Kuleh) Menurut syair dalam dayung dange, ku’ kuleh ini adalah orang Kayaan Umaa’ Aging. Tapi dange ini juga berlaku pada Kayaan Umaa’ Suling.

Kuu’ Kuleh ini punya anak dan cucu yang masing-masing hidup sendiri ditempat lain. Mereka ini ada yang berada di lung danum (harafiahnya adalah kuala sungai), aur danum (harafiahnya adalah hulu sungai), lung hilo, lung leno. Tempat-tampat yang dimaksud adalah tempat dimana Lawe’ (Lawe’ adalah orang yang memiliki kekuatan supranatural dan tersohor dalam cerita suku Dayak Kayaan) dan Kerigit (Kerigit adalah istri Lawe’). Daerah ini sekarang berada di daerah Apo’ Kayaan.

Semua anak dan cucu Kuu’ Kuleh dikumpulkan. Tetapi dia bingung bagaimana mereka bisa naik rumah dan semangat anak dan cucunya bisa kuat. Maka Kuu’ Kuleh mengadakan mela (daun juang dan besi yang disebut ukul, dikikat menjadi satu, kemudian dikibas-kibas pada tangan sementara lantai ada malaat kayo/mandau dan bato kajaa’ ; batu khusus yang disiapkan untuk diinjak oleh orang yang dimela). Setelah proses ini selesai, baru anak dan cucunya boleh masuk dalam rumahnya. Setalah proses mela selesai, barulah Kuu’ Kuleh mengadakan dange.

Sementara munculnya dange pada Kayaan Umaa’ Pagung menurut cerita rakyat, setelah ada seorang bayi laki-laki ditemukan dalam paak nagnga’ (pelepah tanaman sebangsa pohon palem), ketika suku ini pergi malo’ (pergi mengerjakan sagu; baca sagu). Penemuan anak itu secara kebetulan, namun ketika ditemukan dia menangis, bahkan hingga sampai ke rumah. Sesampai dirumah, bayi itu diberi nama Kilah, setelah beberapa nama lain diberikan padanya namun tidak cocok. Karenanya maka Kuu’ Kialah digelar dengan panggilan Kuu’ Kilah Paloo’. Ketika dia sudah dewasa, Ku’ Kilah Palo mendirikan dange Uma Pagung. Kuu’ Kilah inilah yang menciptakan dange dalam subsuku Kayaan Umaa’ Pagung. Tujuan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kilah ini sama hakekatnya dengan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kuleh.

Dange adalah upacara adat yang tertinggi dan sakral dalam deretan upacara lalii’ (peraturan dan larangan dalam simbol adat berdasarkan keyakinan; Mikhail Coomans, 1987) pada sistim perladangan suku Kayaan. Karenanya upacara sakral ini mesti dilakukan setiap tahun. Dange yang dilakukan setelah panen padi yang jatuh sekitar bulan April-Mei setiap tahun ini, bermakna positif bagi masyarakat Kayaan. Yakni selain digunakan sebagai moment untuk bersyukur atas hasil perladangan, juga untuk meminta hasil perladangan yang berlimpah untuk tahun berikutnya, melalui Savit Puyaang Lahe alang hipun kenap sayuu’ nite (Tuhan pencipta langit dan bumi yang memiliki sifat murah hati) agar memberikan rejeki pada umatnya.

Dalam upacara dange, selain mengadakan tarian pejuu’ lassah, yang merupakan simbol dan media bagi masyarakat Kayaan untuk menyampaikan doanya dan permohonan pada Tuhan, juga mengadakan ritual neguk (neguk; asal kata dari mengetuk. Ritual ini bertujuan untuk meminta pada tanah, hujan, kemarau, binatang dalam tanah seperti cacing dan sebagainya), agar kegiatan dange yang berlangsung bisa sukses, sekaligus diberikan kemudahan dan rejeki dalam perladangan pada tahun berikutnya.

Keterlibatan semua orang ketika upacara dange berlangsung, merupakan bagian dari persembahan rohani yang tak ternilai pada Tipang. Karena bagi-Nya, dalam keyakinan Dayak Kayaan, kehadiran setiap orang merupakan sebuah kehormatan terbesar, karena manusia mau mengadakan upacara yang harus mengorbankan kurban persembahan baik berupa babi, ayam dan kepala manusia (jika dulu; Kayaan Umaa’ Pagung harus mengurbankan kepala manusia) dan semua hasil perladangan dalam ritual dange.

Tujuan Dange yang Diselenggarakan di Pontianak

Secara umum, dange bertujuan selain untuk mengucap syukur pada Tuhan, juga dalam kerangka mengumpulkan keluarga besar Kayaan di Pontianak yang selama ini belum pernah berkumpul dalam suasana yang disatukan oleh upacara adat yang diciptakan oleh leluhur mereka.

Kali ini komunitas suku Dayak Kayaan yang ada di Kota Pontianak yang tergabung dalam Hulaan Apo Kayaan Pontianak, menyelenggarakan dange dengan tujuan selain tersebut diatas, juga mau mempromosikan budaya suku Dayak Kayaan pada khalayak ramai. Sekaligus mendukung upaya promosi dari pemerintah Kalimantan Barat untuk mempromosikan budaya yang ada di Kalimantan Barat. Setitidaknya, dari kegiatan dange tersebut, masyarakat mau benar-benar menggali budaya asli dan memperkenalkannya pada komunitas lain.

Dange ini pula mau mengingatkan seluruh lapisan masyarakat bahwa masih pentingkah budaya pertahankan dan dihidupkan? Dewasa ini tantangan besar bagi setiap komunitas di Kalbar adalah adanya tekanan budaya modrenisasi terhadap kebudayaan asli suku Dayak. Sadar dan tidak, bahwa hilangnya suatu tradisi dalam komunitas, akan berdampak buruk pada komunitas itu sendiri.

Diantaranya akan terjadi degradasi budaya yang mungkin besar-besaran. Terlepas dari itu semua, dampak masuknya perusahaan sekaligus para karyawannya dari luar, menjadi tantangan berat bagi komunitas khususnya Dayak, terlebih bagi masyarakat Dayak Kayaan. Karena itu semua akan mengikis habis secara perlahan-lahan adat istiadat dan seni budaya Dayaak secara menyeluruh. Inilah yang menjadi catatan penting, kenapa dange ini mesti diadakan dan dibuka untuk umum. Mungkin kegiatan ini kedepannya akan terus berlangsung, dengan demikian semakin banyak kekayaan budaya yang bisa mendukung dunia kepariwisataan di Kalbar.

Prosesi Dange Kayaan di Pontianak

Untuk mendirikan lepo dange (pondok dange), berbagai hal yang harus disiapkan. Di antaranya seperti pergi mencari peralatan lepo dange. Kegiatan ini dilakukan sehari sebelum upacara ritual dilakukan yakni (Jumat 13 juni 2008),. Setelah bahan-bahan terkumpul, bahan tersebut langsung di bawa ke rumah panjang Dayak di Jalan Letjen Sutoyo-Pontianak.

Tempat dan Waktu Kegiatan

Tempat : Rumah Adat Dayak Jalan Letjen Sutoyo Pontianak
Tanggal : Sabtu, 14 sampai Minggu, 15 Juni 2008
Agenda lain terlampir.

Pondok didirikan hari berikutnya yakni Sabtu, tanggal 14 Juni 2008.
Acara pendirian lepo dange yang akan berlangsung mulai dari pukul 08.00 wib ini, diawali dengan ritual
1. Mawaang Alaan Jak Dange:
(membersaihkan jalan untuk mendirikan lepo dange) yang dipimpin oleh dayung aya’ (imam adat yang memiliki peran utama). Tujuan ini adalah untuk memberitahukan pada semua orang dan makhluk hidup di darat, sungai dan udara bahwa dange akan segera dimulai. Setelah dua rentetan ritual ini usai, barulah orang-orang mendirikan lepo dange.

2. Mawaang Alaan Uting. (membersihkan jalaan roh/jiwa uting; babi piaraan)
Doa ritual ini bertujuan memberitahukan pada semua orang, terkhusus pada leluhur Kayaan bahwa uting akan menjadi kurban pada acara dange. Dengan demikian, semua masyarakat akan memiliki semangat yang lebih kuat.

3. Misa Inkulturasi dan Malam Pevengo (menunggu hari pagi):
Yang menariknya lagi adalah budaya dange ini bisa masuk dalam ibadat misa di gereja katolik (Inkulturasi). Misa ini akan berlangsung mulai dari pukul 18.00-20.00 wib (malam minggu). Namun acara ini lebih pada internal suku keluarga besar Dayak Kayaan di Pontianak.

Terjadinya misa inkulturasi ini, berkat kejelian pastor AJ. Ding Ngo, SMM. Dikalangan umat Katolik di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, nama Pastor AJ. Ding Ngo SMM secara umum hampir tidak asing lagi. Putra Dayak Kayaan yang meninggal dunia Mei tahun 1995 silam ini, sekaligus pelopor imam pertama bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Selain pemimpin umat, di juga termasuk seorang sosiologi. Karyanya tentang budaya pada suku Dayak Kayaan seperti syair lawe dan catatannya tentang Kayaan di Sungai Mendalam hingga Kayaan di Apo Kayaan-Kaltim dan Serawak-Malaysia, kamus bahasa Dayak Kayaan dan banyak lagi lainnya yang menjadi referensi para peneliti dan akademisi dunia. Latarbelakangnya sebagai orang imam, menginspirasinya untuk menggabungkan budaya (dange) dalam ajaran Katolik. Dange yang dimiliki Dayak Kayaan, adalah satu-satunya budaya Dayak yang telah mampu melebur menjadi satu dalam gereja khusus Katolik. Ini berkat perhatiannya pada budaya Dayak, khususnya Dayak Kayaan.

Semua itu berangkat dari keperihatinannya dan kejeliannya setelah masuknya agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris, dalam tatanah kehidupan masyarakat adat Kayaan, hingga terjadi degradasi budaya. Salah satu rangkaian upacara adat dange yang menarik bagi pastor ini adalah dayung kigaan (para anggota dayung menari berjalan mengelilingi lasah, dan dayung aya’ melantunkan nyanyian daonya), serta tarian pejuu’ lasah dan tarian lalang buko (nama seorang perempuan). Tarian pejuu’ lasah (pejuu’ lasah berarti mengangkat lasah) lasah adalah sejenis pagar. Enam batang kayu sebesar pergelangan tangan orang tua dan delapan potongan pendek yang melintang. Sementara tarian pejuu’ lasah adalah tarian yang disertai dengan doa/mantra yang disampaikan pada Tuhan, mengelilingi lasah. Sementara tarian lalang buko, adalah tarian yang yang wajib ditarian dalam dange untuk memperingati bahwa leluhur mereka jaman dulu mampu menghidupkan orang mati oleh lalang buko, menggunakan sape’ kayaan (sape’ bersenar dua).

Prosesi misa dange sendiri, selain menggunakan bahasa Kayaan baik lagu maupun rentetanan doa dalam perayaan misa dange, juga ada syair dayung, (syair dayung lebih pada jenis syair tradisi, bukan manusia) dalam menyampaikan kesukariaan dan permohonan pada tuhan sebagai persembahan. Yang tidak kalah pentingnya dalam rangkaian prosesi misa dange adalah masuknya tarian pejuu’ lasah (tarian sekaligus penyampaian hajat/doa pada tuhan ketika persembahan dalam liturgi melalui medianya yang disebut lasah). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumah Adat

Makanan

Wisata